Filsafat Jiwa dalam Tetraktys Pythagoras: Antara Angka, Alam Semesta, dan Kebahagiaan Jiwa yang Damai

Kalau dengar nama Pythagoras, mayoritas dari kita pasti langsung kebayang rumus legendaris: a² + b² = c². Rumus ini memang luar biasa, apalagi pas kita lagi ujian matematika dan cuma itu satu-satunya rumus yang kita hafal. Tapi ternyata, Pythagoras itu bukan cuma jago ngitung panjang sisi miring segitiga, lho. Dia itu filsuf, pemimpin spiritual, dan—yang jarang disadari—seorang yang hobi menyepi dan merenungi angka sampai dianggap sakral. Keren nggak tuh?

Jauh sebelum motivator zaman sekarang bilang, “Cintai dirimu dan hidupmu akan berubah”, Pythagoras udah nyuruh orang buat philo sophia—mencintai kebijaksanaan. Jadi bisa dibilang, dia ini motivator zaman dahulu yang versi old soul. Tapi bedanya, kebijaksanaan versi Pythagoras itu nggak bisa didapat dari ikut seminar atau baca buku self-help doang. Dia ngajak kita buat nyelam lebih dalam—ke dalam bilangan.

Lah, bilangan? Iya, serius. Bagi Pythagoras, angka itu bukan sekadar alat buat ngitung uang bulanan atau skor game. Bilangan itu sakral, spiritual, penuh makna tersembunyi. Dan di sinilah kita ketemu Tetraktys, susunan angka 1 + 2 + 3 + 4 = 10 yang kalau disusun jadi segitiga sempurna. Tapi tunggu dulu, ini bukan cuma segitiga biasa. Bagi Pythagoras, ini adalah “peta rahasia” menuju pemahaman tentang alam semesta dan… jiwa manusia.

Lihat aja: satu itu simbol keesaan—Tuhan, sumber segala sesuatu. Dua itu dualitas—seperti siang-malam, laki-laki-perempuan, dan kopi-manis atau kopi-pahit (tergantung kamu ngopi sambil bahagia atau galau). Tiga itu harmoni—unsur paling stabil, katanya. Dan empat itu dunia fisik—tempat kita hidup, jatuh cinta, patah hati, dan scroll TikTok tanpa sadar waktu.

Totalnya sepuluh. Angka sempurna dalam pikiran Pythagoras. Kalau kamu lihat ini sebagai sekadar penjumlahan, ya kamu kehilangan keajaibannya. Tapi kalau kamu pandang tetraktys seperti peta batin, kamu bisa nemuin filosofi hidup yang bisa bikin hati kamu lebih adem dari AC 2 PK.

Makanya, Pythagoras dan murid-muridnya tuh nggak main-main. Mereka punya aturan hidup: jangan makan daging, jangan ngomong sembarangan, jangan tidur abis makan (yang ini sih kayaknya kita semua melanggar), dan harus sering meditasi. Bukan karena mereka mau jadi keren di Instagram, tapi karena mereka percaya jiwa harus bersih biar bisa naik level. Kalau jiwa kamu keruh, ya bakal nyangkut di dunia ini terus. Reinkarnasi versi Pythagoras tuh bukan hadiah, tapi alarm bahwa kamu belum lulus ujian kehidupan.

Lalu apa hubungannya sama kita, manusia modern yang hidup di tengah era AI, fast food, dan drama percintaan ala series Korea?

Ternyata banyak. Di tengah dunia yang penuh notifikasi, kebisingan, dan overthinking kolektif, ajaran Pythagoras soal menyepi, menyatu dengan alam, dan tidak menyakiti makhluk hidup itu relevan banget. Apalagi soal tidak mengeksploitasi alam dan hidup harmonis dengan semesta. Hari ini, orang baru sadar pentingnya hidup minimalis, zero waste, mindfulness—padahal Pythagoras udah ngajarin itu sejak 2.500 tahun lalu, cuma tanpa embel-embel aesthetic dan hashtag.

Lebih dalam lagi, tetraktys ngajarin kita buat hidup seimbang. Jangan terlalu ekstrem. Kalau kamu kerja terus, lupa istirahat dan lupa senyum, ya jiwa kamu bisa burnout. Kalau kamu terlalu santai, ya bisa-bisa hidupmu cuma stuck di titik dua doang—terjebak dualitas, nggak naik-naik ke tiga apalagi empat.

Akhirnya, filsafat jiwa Pythagoras bukan soal jadi pintar ngitung, tapi soal bagaimana angka bisa jadi cermin diri. Hidup bukan soal siapa yang paling cepat atau paling kaya, tapi siapa yang paling paham dirinya, semestanya, dan Tuhannya. Dan lucunya, kadang kita nemuin jawabannya bukan di luar sana—tapi di dalam sebuah segitiga kecil berisi angka-angka sederhana.

Siapa sangka, ternyata kebahagiaan itu bisa kita temukan lewat filosofi seorang ahli matematika berkumis dari zaman kuno, yang mungkin kalau hidup hari ini bakal jadi YouTuber spiritual dengan konten: “Menemukan Diri Lewat Tetraktys—Episode 1.”

Penulis : Hubaisy Ibnu Fahmi

 

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *