Makan, tidur, baca buku—itulah rutinitas Fatimah di hari libur sekolah. Bukan karena tak ada kegiatan lain, tapi itulah bentuk perlawanan yang hening terhadap dunia: mempersiapkan masa depan.
Fatimah, gadis enam belas tahun yang kini duduk di kelas 3 SMA, adalah anak semata wayang. Ayahnya telah berpulang saat ia masih duduk di bangku SD. Sejak saat itu, hidupnya hanya ditemani oleh sosok ibu yang tangguh—seorang perempuan sederhana yang memikul dunia di pundaknya demi masa depan sang anak.
Baginya, hari libur bukanlah waktu bersantai, melainkan ladang perjuangan. Ia harus bisa menebus setiap tetes peluh ibunya, menjadikannya wanita paling bahagia di dunia.
“Fatimah!” terdengar suara lembut dari ruang keluarga.
“Iya, Ibu? Ada apa?” jawab Fatimah dari balik kamar.
Ia keluar dengan enggan. Bukannya malas, tapi ia sedang tenggelam dalam halaman terakhir buku yang hampir rampung dibacanya. Ibu yang melihat wajah cemberut Fatimah hanya tersenyum kecil.
“Keluar yuk, jalan-jalan sebentar sama Ibu. Biar pikiran segar,” ajaknya lembut.
Namun Fatimah hanya diam. Raut wajahnya tak mampu menyembunyikan kekecewaan karena harus menghentikan rutinitas belajarnya. Sang ibu mengerti, meski hatinya ingin bersama anaknya, ia memilih mundur demi masa depan putrinya.
“Ya sudah, lanjutin belajarnya, Nak. Lain kali kita jalan-jalan.”
Fatimah kembali ke kamar. Hatinya menghangat karena pengertian itu, meski wajahnya tetap datar. Ia kembali fokus, hari demi hari, mempertahankan nilai, mengasah impian. Tiga tahun masuk lima besar bukan hal yang mudah. Tapi demi satu nama universitas, ia rela kehilangan banyak hal.
Lalu tibalah hari itu—hari di mana semua perjuangan dipertaruhkan. Sekolah menjadi lautan emosi. Ada tawa lepas, tangis haru, dan… duka yang menggantung.
Fatimah berdiri lama di depan papan pengumuman SNBP. Matanya mencari-cari, tapi tak kunjung menemukan namanya. Rasanya seperti ditampar dunia. Hatinya runtuh, jiwanya gemetar.
Ia terduduk, air mata tak terbendung. Dunia seolah memudar, suara sekeliling mengabur. Sahabatnya, Khadijah, menghampiri.
“Fatimah… yang sabar ya. Mungkin Allah punya rencana lain.”
Tapi Fatimah tak mendengar. Bahkan ucapan lembut Khadijah terasa jauh dan hampa. Ia hanya ingin lenyap dari dunia.
Saat pulang, ia melihat ibunya di dapur. Ingin rasanya berlari dan menangis di pelukannya, tapi rasa takut mengikat langkahnya. Ia takut mengecewakan satu-satunya orang yang ia perjuangkan.
“Udah pulang, Nak? Kok nggak salam?” sapa ibunya dari bawah tangga.
Fatimah berhenti. Tubuhnya gemetar. Ketika ibunya mendekat dan bertanya pelan, “Gimana hasilnya?”—ia tak bisa menahan diri lagi.
“Ibu… maafkan Fatimah… Fatimah gagal, Bu… Fatimah gagal…” isaknya sambil memeluk ibunya.
Sang ibu terdiam sejenak, lalu menahan tangis dan mengelus rambut anaknya.
“Nak, siapa bilang Ibu kecewa? Ibu bangga sama kamu… kamu udah berjuang sekuat tenaga. Mungkin bukan ini jalannya. Tapi Allah pasti sudah siapkan sesuatu yang lebih indah…”
Ucapan itu menjadi pelipur lara. Fatimah tertidur dalam dekapan ibunya, lelah oleh tangis dan kecewa. Namun kenyataan belum berhenti mengujinya. Saat pengumuman SNBT datang, namanya kembali tak ada. Hancur? Lebih dari itu. Ia mengurung diri tiga hari, tak makan, tak bicara.
Ibunya semakin bingung. Sahabat-sahabatnya—Khadijah dan Aisyah—datang menjenguk.
“Fatimah, ayo bangkit. Masih ada UM-PTKIN…” ucap Khadijah.
“Enak kamu ngomong! Kamu udah keterima!” balas Fatimah dengan nada tinggi. Suasana memanas, bahkan Aisyah ikut terpancing. Namun Khadijah tetap sabar.
“Fatimah, kami ke sini karena sayang sama kamu…”
Setelah mereka pulang, Fatimah mulai tersadar. Hatinya menyesal. Ia tahu, tak seharusnya melukai orang yang peduli padanya. Beberapa hari kemudian, semangatnya perlahan kembali. Ia mulai belajar lagi, mencoba bangkit.
Hari ujian UM-PTKIN pun tiba. Kali ini Fatimah tidak menaruh ekspektasi tinggi. Ia mengerjakan dengan tenang, menyerahkan segalanya kepada Allah.
Sebulan kemudian, saat pengumuman tiba, ia bahkan lupa hari itu adalah hari penentuan. Ibunya yang mengingatkannya.
“Coba cek pengumumannya, Nak.”
Dengan tangan gemetar, ia membuka link, memasukkan data, lalu terdiam. Lalu berteriak:
“Ibu! Ibu!”
“Apa, Nak?” tanya ibunya panik.
“Alhamdulillah… aku keterima, Bu!” Fatimah memeluk ibunya erat, tawa dan tangis menyatu dalam bahagia yang sulit dilukiskan.
Hari itu, dunia terasa terang. Ia tidak masuk universitas impiannya, tapi ia diterima di prodi yang ia dambakan. Ia sadar—kegagalan bukan akhir dari segalanya.