Buku Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi karya KH. Said Aqil Siroj bukan sekadar karya keislaman spiritual. Ia adalah ledakan kesadaran, sebuah tafsir ulang atas Ketuhanan yang tak lagi hanya mengawang di langit-langit masjid, tapi turun ke bumi—menyapa realitas umat yang terjepit oleh kekerasan agama, ketimpangan ekonomi, dan oligarki moral. Inilah suara Tasawuf yang bukan sekadar mengajak diam dan menyepi, tapi bergerak—membebaskan, membasuh luka umat yang dirampas hak dan martabatnya oleh kuasa yang berbaju agama.
Melalui perspektif tasawuf falsafi, Kiai Said menawarkan Islam sebagai sistem nilai yang tidak hanya menuntun manusia menuju Tuhan secara vertikal (hablum minallah), tapi juga mendesak keadilan dalam relasi horizontal (hablum minannas). Dalam pandangannya, Tuhan bukan entitas yang jauh, menakutkan, dan penuh murka—sebagaimana diproduksi oleh banyak penceramah hari ini. Tuhan adalah wujud cinta, yang menjelma dalam semesta dan menghidupkan kesadaran batin bahwa manusia—siapapun dia—mesti diperlakukan dengan adil, dengan welas asih, bukan dengan fatwa atau represi.
Gagasan sentral dalam buku ini berpijak pada pemikiran Ibnu Arabi, Al-Hallaj, dan Suhrawardi—para pemikir sufistik yang sering kali dikucilkan oleh kekuasaan karena terlalu radikal dalam memaknai ketuhanan. Kiai Said meletakkan mereka dalam konteks keindonesiaan hari ini. Ia menyodorkan refleksi tajam bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis spiritual yang akut—di mana agama dikomodifikasi, dimasukkan ke dalam pasar politik, dan digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan yang menindas.
Islam, dalam kerangka tasawuf falsafi yang diusung buku ini, justru melawan bentuk-bentuk keberagamaan yang anti-intelektual, intoleran, dan misoginis. Kiai Said tidak ragu menyebut bahwa problem umat hari ini bukan kekurangan dalil, melainkan kehilangan rasa. Rasa welas asih, rasa empati, rasa keadilan. Inilah krisis keberagamaan: ketika ayat-ayat Tuhan lebih sering dipakai untuk membungkam ketimbang membebaskan.
Lebih dari itu, buku ini juga menyinggung pentingnya rekonstruksi hubungan manusia dan alam. Dalam nalar sufistik, alam semesta adalah manifestasi Tuhan, dan oleh karena itu tidak boleh dieksploitasi semena-mena. Alam bukan objek, melainkan subjek yang menyimpan ruh Ilahiyah. Maka perusakan lingkungan sejatinya adalah pemberontakan terhadap kehendak Ilahi. Kritik ekologi ini menunjukkan bahwa tasawuf falsafi bukan eskapisme, melainkan bentuk praksis spiritual yang sangat membumi dan relevan dengan krisis iklim yang kita hadapi.
Kiai Said juga menyuarakan kegelisahan terhadap eksklusivisme dalam agama. Ia menolak doktrin kebenaran tunggal yang menyesatkan umat lain. Tasawuf falsafi mengajarkan bahwa kebenaran adalah pancaran cahaya yang tidak hanya dimiliki satu kelompok. Kebenaran adalah jalan panjang yang harus terus diperjuangkan, bukan diklaim dan dimonopoli.
Dengan gaya bahasa yang tenang namun tajam, buku ini mengajak kita menyadari bahwa menjadi religius bukan berarti menjadi anti-kritis. Menjadi dekat dengan Tuhan bukan berarti membisu atas ketidakadilan. Justru sebaliknya: spiritualitas sejati adalah yang menjadikan kita lebih peka terhadap penderitaan orang lain, lebih gelisah melihat ketimpangan, lebih gelora dalam memperjuangkan kesetaraan.
Dalam konteks umat Islam Indonesia hari ini, buku ini seperti oase di tengah gurun kekakuan tafsir dan banalitas ceramah. Ia bukan hanya menyentuh sisi batin pembaca, tapi juga menggugah nalar dan etika sosial kita. Bahwa Islam tidak cukup hanya dipraktikkan, tapi harus juga dipikirkan dan diperjuangkan dalam kehidupan sehari-hari—dalam politik, ekonomi, dan budaya.
Allah dan Alam Semesta adalah buku yang tidak menggurui, tapi menyulut api kesadaran. Sebuah buku yang menjadikan tasawuf bukan pelarian dari realitas, tapi jalan sunyi menuju dunia yang lebih adil, lebih damai, dan lebih manusiawi.
By : Vonny Nurlatifah