Teko yang Ingin Berkarier sebagai Awan

Diantara Tiga Arcapada

Di sini tak seperti Haghia Sophia.
Setiap rintik hujan adalah perjuangan.
Setiap sinar fajar hingga malam kelam adalah pengorbanan.
Sekadar butuh ketabahan.Takkala daun-daun berjatuhan mengotori beranda kalbumu,
dan takkala kerikil terlempar menghantam jalan sesak dikepalamu.
Ingatlah, disini sardivan telah menjelma talang dari sisa-sisa air hujan.
Di sini tak seperti Konya.
Kota indah sang sufi Jalaluddin Rumi.
Dengung keresahan terlalu berisik untuk didengarkan.
Tak ada Whirling Deviches yang begitu mententramkan.
Bait-bait mazmur terlalu sulit untuk dihayati,sebab bait-bait alfiyah Andalusia hanya kau anggap sebagai wasilah dalam berwisuda fana.
Di sini tak seperti Konya.
Deru nafas perempuan senantiasa rebah dibahu ketika gigil shubuh.
Di sini, engkau harus mampu berdamai dengan segala yang datang dan pergi.
Guyub rukun dengan setiap perputaran harapan dan kenyataan.
Meski saling silang selimpat dalam mengumpamakan kesungguhan pengabdian dengan kidung sunyi para darwis kala senja hamper temaram.

 

Cangkir Kosong yang Mengira Dirinya Semesta

Cangkir itu duduk di atas meja,
penuh percaya diri.
“Aku ini wadah semesta,” katanya,
“tempat segala keresahan dituang,
dan segala rindu diaduk.”

Ia menatapku dengan serius,
padahal isinya cuma angin.

“Lihatlah,” katanya lagi,
“orang-orang datang padaku,
menuang kopi,
menumpahkan cerita,
lalu pergi.”

Ia mengangguk bangga,
tak sadar:
ia cuma cangkir,
yang dibutuhkan saat hangat,
dan dilupakan saat kosong.

Aku tak tega.
Mungkin karena aku juga begitu—
mengira diriku pusat dunia,
padahal cuma wadah sementara
yang dibentuk dari tanah,
diisi, lalu ditinggal
hingga retak.

Tapi bukankah semesta juga begitu?
Kosong, misterius,
dan tetap dianggap rumah?

Maka aku angkat cangkir itu,
kuteguk absurditasnya,
dan kubisikkan:
“Kau benar,
kita semua cangkir yang menunggu
tangan Tuhan menuang sesuatu.”

 

Teko yang Ingin Berkarier sebagai Awan

Pagi itu teko menyendiri di rak,
menghadap jendela dan langit.
“Aku ingin jadi awan,” katanya,
“agar aku bisa menguap tanpa merasa bersalah.”

Aku mengangguk penuh hormat—
tak semua benda tahu cara bermimpi.

“Tiap hari aku menuang,
membagi panas pada cangkir yang tak pernah bersyukur.
Lalu ketika airku habis,
aku disebut kosong.”

Teko menatapku, matanya retak,
tapi ia tetap berdiri tegak.
“Mungkin kalau aku jadi awan,
aku bisa jatuh sebagai hujan,
dan diterima tanpa harus cantik,
tanpa harus selalu hangat.”

Aku terdiam.
Tiba-tiba semua yang kukira benda mati lebih hidup dari aku yang sibuk hidup.

Penulis : Zarro Akbarur Rizki

 

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *