Kalau politik Indonesia bisa dijadikan sinetron, maka ia sudah tamat season 45 tapi penontonnya tetap setia. Plot-nya? Selalu penuh drama. Tokohnya bisa berubah-ubah peran: yang kemarin protagonis, hari ini jadi antagonis. Tapi anehnya, penonton—alias rakyat—jarang benar-benar pindah channel. Karena ya… channel-nya itu-itu aja.
Secara teoritis, demokrasi itu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi kalau dilihat dari praktiknya, kadang rasanya lebih seperti: dari elite, oleh elite, dan untuk elite, dengan rakyat sebagai penggembira pas kampanye dan objek survei elektabilitas.
Kita hidup di negara dengan demokrasi prosedural: pemilu ada, TPS rapi, tinta biru di jari, debat capres ditonton rame-rame, tapi substansinya? Nah ini. Demokrasi kita kadang kayak mobil mewah dengan mesin mogok—casing-nya keren, tapi sering ngebul.
Misal, politik dinasti. Menurut teori demokrasi partisipatif ala Carole Pateman, partisipasi politik seharusnya membuka ruang bagi semua warga untuk berkontribusi. Tapi di sini, partisipasi sering terbatas pada mereka yang punya marga politik atau, lebih nyentriknya, DNA kekuasaan. Kalau nggak punya keluarga di partai atau pangkat bapak-ibu di KPU, ya mending lanjut main Mobile Legends aja.
Lalu ada juga soal partai politik. Dalam teori ideal, partai itu kendaraan ideologi. Tapi di Indonesia, partai lebih sering jadi kendaraan pribadi—kayak mobil Avanza, bisa disetir ke mana saja asal bensinnya cukup. Aliansi berubah-ubah, platform politik fleksibel, dan ideologi? Kadang lebih kabur daripada sinyal Wi-Fi di desa.
Sementara itu, rakyat yang katanya “pemilik suara tertinggi” sering terjebak dalam politik identitas. Bukan karena rakyat bodoh, tapi karena opsi rasionalnya terbatas. Ketika politik jadi soal “asal bukan dia”, bukan soal gagasan, maka demokrasi kehilangan makna deliberatifnya—seperti diingatkan oleh Habermas, bahwa ruang publik harus jadi tempat dialog rasional, bukan panggung caci maki.
Lalu, bagaimana dengan politisi muda? Katanya sih generasi baru penuh harapan. Tapi realitasnya, banyak yang justru belajar dari seniornya: masuk politik bukan untuk idealisme, tapi karena tahu betapa manisnya kekuasaan. Maklum, gaji DPR aja udah cukup buat beli bakso tiap hari seumur hidup—belum tunjangan, perjalanan dinas, dan yang tak terlihat di SPT.
Di sisi lain, kita tak bisa pesimis total. Ruang digital membuka potensi kontrol rakyat terhadap elit. Fenomena citizen journalism, komentar pedas netizen, dan viral-nya video DPR tidur saat sidang menunjukkan bahwa setidaknya rakyat masih punya senjata: kamera HP dan akun Twitter.
Tapi masalahnya, suara rakyat juga bisa diredam. Ada UU ITE yang sering digunakan seperti tameng baja: kritik sedikit, kena pasal. Jadi, kalau dulu kita takut sama aparat bersenjata, sekarang kita takut sama undang-undang yang multitafsir.
Maka, sambat ini bukan sekadar curhat. Ini bentuk kegelisahan akademik—versi rakyat yang baca teori politik sambil ngopi sachet. Kita butuh demokrasi yang tak cuma prosedural, tapi juga substantif. Yang tak hanya soal pemilu tiap lima tahun, tapi juga soal keadilan tiap hari. Yang tak cuma soal hak memilih, tapi juga hak didengar.
Politik Indonesia memang lucu, kadang absurd, sering bikin tepok jidat. Tapi ia juga cermin kita. Dan selama masih bisa sambat dengan ilmiah, mungkin harapan itu belum sepenuhnya lenyap.
Penulis : Diyanatil Azkiya