Kiai Kasan Mookmin: Jalan Sunyi Kiai dan Riuh Pemberontakan

Sejarah kadang berjalan sunyi, nyaris tanpa jejak yang jelas, namun jejaknya terasa dalam kehidupan. Seperti bayangan yang memanjang saat matahari condong ke barat, kisah Kasus Gedangan 1904 adalah perlawanan yang tidak selalu tertulis terang, tetapi membekas dalam tanah-tanah Jawa Timur. Ada nama yang disebut pelan namun bergema kuat: Kiai Kasan Mookmin. Nama ini mungkin samar di telinga kita sekarang, namun di masa kolonial, ia adalah simbol gerakan ulama yang bersandar pada keimanan dan perlawanan.

Riuh pemberontakan Gedangan berpusar pada kiai, santri, dan rakyat kecil yang letih pada penjajahan. Mereka berkumpul, berdoa, dan menyusun rencana di bawah atap-atap sederhana. Kebon-pasar disebut dalam laporan sebagai titik pertemuan, sebuah tempat yang dibaca oleh kolonial sebagai simbol perlawanan. Namun bagi santri, Kebon-pasar lebih dari itu—di sana ada makam seseorang dari Mataram, makam yang suci, makam yang memberi ruh perjuangan.

Tak ada perlawanan tanpa nama-nama yang teguh. Di Gedangan, Kiai Kasan Mookmin adalah salah satu poros yang berdiri tegap. Bersama kiai-kiai lain seperti Kiai Ataman, namanya melintas di antara laporan kolonial dan desas-desus penduduk. Nama itu, di suatu masa, berubah menjadi nyala api yang membakar batas kesabaran rakyat kecil.

 Jalan Sunyi Kiai dan Suara dari Kebon-pasar

Kebon-pasar, tempat yang disebut sebagai lokasi pertemuan sebelum pemberontakan Gedangan pecah, bukan sekadar pasar atau tanah kosong. Di mata rakyat kecil dan santri, tempat itu memiliki ruh—ruh dari makam seseorang yang dihormati, diyakini berasal dari Mataram. Perlawanan bukan selalu lahir dari pedang atau teriakan. Kadang, ia datang dari tempat sunyi, doa yang khusyuk, dan langkah-langkah kecil yang berjalan di pagi buta.

Kiai Kasan Mookmin, menurut laporan kolonial, adalah salah satu tokoh yang membakar semangat itu. Kebon-pasar tidak dipilih sembarangan. Di sana, ruh spiritualitas bertemu dengan letupan amarah kaum kecil yang ditindas. Pada masa itu, berkumpul di tempat suci seperti makam adalah cara halus untuk mengatakan bahwa perjuangan mereka bukan sekadar politik, tetapi juga kewajiban iman.

Dalam kesunyian Kebon-pasar, Kiai Kasan Mookmin dan para kiai lainnya berunding. Mereka menyusun strategi di bawah bayang-bayang penjagaan kolonial yang semakin ketat. Para santri datang dari berbagai daerah: Djombang, Kediri, Modjokerto, dan Lassem. Mereka membawa rasa percaya bahwa perjuangan ini bukan hanya milik satu kampung, tetapi milik seluruh rakyat.

Kiai Kasan Mookmin bukan pemimpin dengan gemuruh suara atau lambaian panji. Ia adalah kiai yang jalannya sunyi namun tujuannya tegas. Di tengah desakan kolonial, ia tahu bahwa doa dan persiapan adalah senjata yang tak kasatmata.

Kiai Kasan dan Jaringan Para Santri

Apa yang membuat kolonial ketar-ketir bukan hanya pemberontakan itu sendiri, melainkan jaringan yang tersembunyi di baliknya. Kasus Gedangan bukan sekadar ledakan amarah spontan, tetapi perlawanan yang tersusun rapi. Di balik perlawanan itu, ada para santri dari Djombang, Kediri, hingga Poerwoasri yang bergerak dalam sunyi.

Kiai Kasan Mookmin disebut dalam laporan kolonial sebagai tokoh sentral yang menjalin komunikasi dengan pemimpin-pemimpin lokal. Ada pula nama Kiai Ataman yang kelak menjalani pemeriksaan intensif oleh pihak kolonial. Para kiai ini memahami bahwa perlawanan tak bisa dilakukan sendirian. Maka, para santri menjadi utusan; mereka bergerak dari satu kampung ke kampung lain membawa pesan perjuangan.

Nama Djoko, seorang murid dari Djojo, muncul dalam laporan sebagai korban kerusuhan. Cerita tentang Djoko tidak berhenti di sana. Konon, ia adalah salah satu santri yang menjadi penghubung antara Kiai Kasan Mookmin dan tokoh-tokoh lain. Kolonial menyebut ini sebagai kerusuhan terencana, tetapi bagi rakyat kecil, ini adalah usaha terakhir untuk mematahkan rantai penjajahan.

Dalam sunyi dan doa, Kiai Kasan Mookmin bersama para santri bergerak seperti air. Tidak terlihat deras, tetapi perlahan menghanyutkan batu-batu penjajahan yang sekian lama kokoh.

 Riuh Pemberontakan dan Akhir yang Senyap

Pada 29 Mei 1904, perlawanan meletus. Dari laporan kolonial, kerusuhan ini dianggap sebagai tindakan “prematur” yang berhasil dipadamkan dengan cepat. Namun, bagi rakyat kecil, suara perlawanan itu sudah cukup memberi tanda bahwa harapan belum mati.

Kiai Kasan Mookmin, bersama para pengikutnya, disebut sebagai tokoh utama dalam perencanaan ini. Akan tetapi, setelah kerusuhan mereda, nama-nama seperti Kiai Ataman dihadapkan pada pemeriksaan panjang. Dalam ruang-ruang interogasi yang dingin, para kiai ini ditanya tentang siapa yang membisikkan api perlawanan.Nama Kiai Kasan Mookmin berulang kali muncul dalam laporan. Namun, seperti banyak pemimpin spiritual lainnya, jejaknya perlahan menghilang dalam sejarah. Jalan sunyi yang ia tempuh berakhir dengan kesenyapan, tetapi riuhnya pemberontakan Gedangan meninggalkan jejak.

Kolonial mungkin menang dalam catatan sejarahnya, tetapi nyala api yang dibawa Kiai Kasan Mookmin terus menyala dalam hati santri-santri generasi berikutnya. Kebon-pasar tetap menjadi saksi. Makam dari Mataram tetap menjadi simbol. Dan doa-doa para kiai, hingga hari ini, masih terdengar dalam langkah-langkah sunyi perjuangan.

Refrensi

Arsip Kolonial dalam koran Algemeen Handelsblad 02-08-1905

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustaka Jaya, 1984

Penulis : Roni Ali Rahman

RSS Error: WP HTTP Error: A valid URL was not provided.
Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *