Kamis pagi, 17 April 2025, matahari baru saja naik ketika saya tiba di Dusun Nogosari, Desa Sukosari, Kecamatan Sukosari, Bondowoso. Sejauh mata memandang, sawah-sawah baru saja selesai panen. Sekilas, pemandangan ini seolah menjanjikan kesejahteraan. Tapi, di balik batang-batang padi yang sudah kering, kegelisahan justru semakin terasa.
“Panen ini, kami malah tekor, Mas,” ujar Pak Kamil dalam bahasa madura (52), seorang petani senior. Di teras rumahnya yang sederhana, ia menceritakan soal beban yang semakin berat: harga pupuk melambung, harga beras di pasar naik, tetapi harga gabah justru terjun bebas.
Dari catatan yang saya kumpulkan di lapangan, harga pupuk bersubsidi — seperti urea dan NPK — yang sebelumnya Rp120.000 per zak, kini naik drastis, sementara pupuk non-subsidi bahkan mencapai Rp450.000–500.000 per zak. Ironisnya, meski ada program subsidi pupuk dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian, implementasinya di tingkat desa seperti Nogosari jauh dari harapan.
Pupuk subsidi memang disalurkan berdasarkan program Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK). Petani harus terdaftar resmi, memiliki lahan dengan luasan tertentu, dan memenuhi persyaratan administratif yang ketat. Namun, dalam praktiknya, banyak petani kecil kesulitan memenuhi persyaratan tersebut. Ada yang lahannya terlalu kecil, ada yang belum terdaftar, atau terkendala administrasi.
Pak Idris (47), pengelola penggilingan padi, menambahkan, “Petani kecil biasanya tidak dapat jatah pupuk langsung. Akhirnya, mereka beli ke petani yang jatahnya lebih banyak. Harganya? Bisa hampir dua kali lipat, Mas.”
Artinya, meski pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian sudah menetapkan skema subsidi untuk menjaga kestabilan produksi, kenyataan di lapangan tidak selalu sama. Banyak petani kecil di Nogosari terpaksa membeli pupuk ‘lewat tangan kedua’ dengan harga Rp300.000–350.000 per zak — angka yang mencekik untuk petani dengan modal terbatas.
Dari sisi produksi, kenaikan harga pupuk berdampak langsung pada penurunan jumlah pupuk yang digunakan. Petani memilih mengurangi dosis pupuk untuk menghemat biaya, meski konsekuensinya hasil panen menurun. Dalam satu hektare, misalnya, hasil yang biasanya 6 ton, kini hanya sekitar 4,5–5 ton.
Sementara itu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani hanya bertahan di angka Rp5.000 per kilogram. Padahal, beban biaya tanam meningkat pesat. Selisih ini menjadikan panen musim ini lebih menyerupai beban hutang daripada musim berkah.
Yang lebih membuat miris, meski harga gabah jatuh, harga beras di pasar-pasar tradisional justru melonjak. Di Pasar Sukosari, beras medium dijual Rp13.000–Rp14.000 per kilogram. Ibu-ibu rumah tangga pun mulai mengeluhkan beban belanja harian.
Petani menjadi pihak paling lemah dalam rantai ini. Begitu panen, mereka harus segera menjual gabah, seringkali ke tengkulak, untuk membayar utang pupuk, sewa lahan, atau tenaga kerja. “Tidak kuat nahan, Mas. Harus segera jual, walau murah,” kata Bu Rina (38), anggota kelompok tani “Sumber Makmur.”
Cuaca yang tidak menentu memperparah keadaan. Musim panen kali ini, hujan datang tiba-tiba saat padi mulai menguning. Banyak bulir kosong akibat serangan jamur dan pengurangan pupuk. Secara kasat mata, produktivitas sawah di Nogosari lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kepala Desa Sukosari, Pak Umam, saat saya temui, menyebutkan bahwa pihak desa sebenarnya sudah berkali-kali mengusulkan tambahan kuota pupuk subsidi. “Tapi kuotanya tetap kecil. Kami hanya bisa membagikan seadil mungkin. Itu pun banyak yang tetap tidak kebagian,” ujarnya.
Beberapa kelompok tani mencoba mencari jalan alternatif: menjual langsung gabah atau beras ke konsumen kota melalui sistem pre-order. Tapi lagi-lagi, keterbatasan modal, logistik, dan jaringan pemasaran menjadi kendala besar.
Dari catatan lapangan ini, terlihat jelas: kebijakan subsidi pupuk yang ditetapkan dari pusat, dalam implementasinya, menciptakan lapisan-lapisan kerentanan baru di tingkat bawah. Petani kecil, yang semestinya menjadi subjek utama penerima manfaat, justru banyak yang tercecer dari sistem.
Beras mahal di pasar ternyata tidak pernah berarti petani hidup makmur. Di balik sebutir nasi yang kita makan hari ini, tersimpan cerita panjang tentang ketidakadilan struktural, beban ekonomi, dan kerja keras yang sering kali tak berbalas.
Ketika matahari mulai miring ke barat, saya menutup catatan ini. Di kejauhan, sawah-sawah yang kering menguning berdiri menjadi saksi diam tentang nasib petani yang terus berjuang, meski dalam ketidakpastian yang panjang.
Penulis : Roni Ali Rahman