Bulan Bulan Enggan Bernama
Bulan-bulan datang tanpa tanda
Cahayanya tersembunyi di balik awan
Membiarkan langit sunyi, menggantung tanpa arah dan tujuan
Malam itu gelap tanpa suara
Kenangan terlupa tanpa jejak
Wajah wajah lama memudar pelan, tertinggal dalam detik yang tak pernah benar-benar pulang
Rembulan itu tak ada yang menunggu
Tak ada harapan terbit sekalipun
Hanya ruang kosong yang merajai setiap jam yang terbuang hingga terasa jauh dan hampa
Tanpa nama, tanpa kisah
Hanya ada di sana
Seakan hadir hanya untuk di lupakan, tanpa pernah berniat di temukan
Langit malam menyembunyikan semua
Di bawahnya aku berdiri, menjadi bayang yang tak mampu ku jelaskan
Apa yang hilang dalam keremangan ini?
Aku rindu satu dintara bulan-bulan itu
Sesuatu yang mungkin tak pernah ada
Atau hanya mampir sekali, lalu lenyap dalam kabut yang tak kan terjamah
Tak ada cerita yang bisa menyusuri keindahannya ,Hanya hening yang menemaniku
Detik yang terasa berat
Saat Aku terus mencari , meski tau tak mungkin dan tak kan pernah datang
Aku Berjalan bersama malam dan menyusuri bayang tanpa arah
Sementara Waktu berjalan tanpa menawarkan kejelasan
Seperti langit yang enggan berbicara
Menyimpan sunyi dalam jarak yang tak terjangkau
Aku tetap menunggu itu
Meski tak tau apa yang kutunggu
Dan tak yakin apakah masih ada?
Hanya satu yang kutahu:
Di bawah remang bulan,
Bulan bulan itu menggantung –,enggan mendekat,enggan bernama,
Tapi tak pernah benar-benar pergi.
Waktu Menjadi Kabut
Jarum jarum jam melebur,
Meluncur dari angka ke tanah,
Seperti lilin yang terlalu lama menahan panas.
Di mataku, menit menit berkerut,
Jam-jam menguap perlahan,
Berubah menjadi kabut yang merayap di sepanjang lorong dada.
Aku mencoba berlari, tapi tanah dibawahku bergeser,lurus,lalu belok,lalu hilang sama sekali.
Setiap langkah menjadi hampa.
Tak ada utara
Tak ada arah pulang
Yang ada hanya bayangan jalan yang melilit dan menghilang sebelum sempat disentuh.
Waktu sudah tidak mengikat apapun lagi.
Ia melesak ke udara,
Menjadi asap tipis,
Menjerat tenggorokan dengan rindu yang bahkan tak tahu lagi
Kepada siapa harus kembali.
Aku mengangkat tangan,
Mencoba meraih detik, namun detik itu terurai menjadi abu.
Aku memanggil nama-nama lama,
Tapi suaraku tenggelam di dalam putihnya kabut,
Dalam sunyi yang begitu berat, begitu rapuh.
Semua arah retak
Semua jalan lenyap.
Dan aku—
Sendiri,
Menggambang dalam jam jam tak berbentuk,
menjadi bayang- bayang dari waktu yang sudah berhenti percaya pada dirinya sendiri.
Suara yang tak pernah lahir
Ada suara ,
Yang tumbuh didalam dada,
Namun gugur sebelum sempat bernama.
Kata-kataku menepu,
Tak berani berenang
Dilaut telinga yang tak benar-benar mendengar.
Ia bukan sunyi,
Ia lebih dari itu—
Ia rindu yang tak punya bahasa,
Ia luka yang tak bisa menangis.
Kata-kata berjejal ditepi lidah yang kelu,
Mengetuk pelan,
Tapi dunia tak pernah membukakan pintunya.
Segalanya sibuk berbicara,
Tak ada ruang untuk mendengar
Yang hanya bergetar dalam diam.
Aku menyulam emosi
Dari benang-benang hening,
Menjahitnya dibalik napas yang tertahan oleh takut.
Takut akan salah tafsir,
Takut akan tatapan yang menelanjangi,
Takut menjadi telinga bagi ejekan yang menyamar menjadi empati.
Aku pernah ingin bicara,
Tapi pada siapa?
Pada angin yang berlalu?
Pada malam yang hanya menggema?
Pada manusia yang hanya mendengar untuk jawaban,
Bukan memahami?
Maka aku belajar diam,
Bukan hanya pasrah,
Tapi karena diam adalah satu-satunya ruang
Dimana aku tak perlu menjelaskan luka
Yang bahkan aku sendiri tak sanggup namai.
Beginilah aku hidup—
Menyimpan suara-suara yang tak pernah lahir.
Membiarkan mereka jadi puing-puing didada yang tetap tersenyum
Meski nyaris retak
Oleh sunyi.
Penulis : Siti Aliyah
Mahasiswa Institut Almaliki Bondowoso