Di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah benar-benar tidur, ada satu realitas sosial yang kerap luput dari perhatian: olahraga, aktivitas yang seharusnya menjadi bagian dari gaya hidup sehat setiap orang, nyatanya hanya dinikmati oleh sebagian kalangan. Pertanyaan pun muncul, benarkah olahraga kini hanya menjadi milik mereka yang sudah mapan?
Setiap pagi buta, sebelum matahari menampakkan sinarnya, jalanan sudah dipadati oleh orang-orang yang mencari nafkah. Tukang sayur mendorong gerobaknya, buruh bangunan menuju proyek, pedagang keliling bersiap dengan dagangannya, dan para pengemudi ojek online mengantre order pertama. Di waktu yang sama, sebagian masyarakat kelas menengah ke atas baru mulai bersiap untuk joging ringan di taman kota atau berangkat ke pusat kebugaran. Jam biologis dan sosial mereka berbeda. Yang satu bergerak karena tuntutan ekonomi, yang lain melangkah karena ruang luang.
Perbedaan ini mencerminkan bagaimana waktu digunakan secara tidak merata. Bagi mereka yang harus bekerja keras dari pagi hingga malam, waktu adalah aset yang tak boleh disia-siakan. Setiap menit adalah peluang untuk bertahan. Sebaliknya, bagi mereka yang lebih mapan, waktu bisa dibagi untuk pekerjaan, hiburan, relaksasi, dan perawatan diri, termasuk berolahraga secara rutin. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap kesehatan bukan hanya soal kemauan, tetapi juga soal kemampuan dan kesempatan.
Fenomena ketimpangan ini semakin terlihat ketika mengamati siapa saja yang rutin mengisi ruang-ruang publik untuk berolahraga. Dalam pengamatan pribadi di sejumlah kota, mayoritas orang yang terlihat berolahraga berasal dari kelompok yang secara ekonomi mapan. Bahkan dalam beberapa kasus, tampak dominasi kelompok warga keturunan Tionghoa yang selama ini memang dikenal memiliki akses ekonomi yang lebih baik. Hal ini bukan soal etnisitas, melainkan bagaimana sistem sosial dan ekonomi memberi privilese tertentu kepada sebagian kelompok dalam masyarakat.
Suatu pagi, pemandangan yang kontras memperkuat kesan tersebut. Di sebuah taman kota, ketika beberapa orang berlari kecil menyusuri jalur hijau yang tertata rapi, tampak seorang bapak tua sedang memotong rumput di sudut taman. Ia tidak datang untuk mencari udara segar atau menjaga kebugaran, melainkan untuk bekerja. Satu tubuh bergerak demi kesehatan, satu tubuh lain membungkuk demi sesuap nasi. Kedua aktivitas itu sama-sama menggunakan tenaga, tetapi hanya satu yang dianggap gaya hidup sehat, sementara yang lain adalah perjuangan bertahan hidup.
Ketimpangan ini tidak berhenti pada soal olahraga. Ia menjalar pada hal-hal lain yang mendasar, seperti asupan gizi, waktu istirahat, kesehatan mental, dan kesempatan menikmati waktu berkualitas bersama keluarga. Bagi sebagian orang, makan dengan gizi seimbang adalah bagian dari rutinitas harian. Bagi yang lain, itu adalah kemewahan yang tak selalu bisa dinikmati. Sering kali, orang-orang di kelas bawah bahkan harus mengorbankan waktu tidurnya untuk lembur atau bekerja dua shift demi memenuhi kebutuhan dasar.
Sementara itu, mereka yang lebih beruntung dapat dengan mudah mengakses berbagai layanan kesehatan dan kebugaran. Gym, yoga, pilates, personal trainer, hingga diet dengan menu khusus bisa dibayar tanpa beban. Olahraga menjadi simbol status, bukan sekadar kebutuhan fisik. Di sisi lain, banyak orang yang sudah kelelahan berjalan jauh setiap hari demi pekerjaan, namun tidak pernah dianggap sedang “berolahraga”. Aktivitas tubuh mereka tidak bernilai secara sosial karena dilakukan di bawah tekanan ekonomi.
Contoh ketimpangan ini bisa dilihat dengan mudah di sekitar kita. Pekerja informal mengangkut beban berat dan berjalan jauh setiap hari, tetapi tak pernah punya waktu atau energi untuk olahraga terstruktur. Anak-anak di desa bermain bola tanpa sepatu di lapangan becek, sementara anak-anak kota berlatih di akademi sepak bola eksklusif dengan pelatih profesional. Ibu rumah tangga dari kalangan bawah membersihkan rumah orang lain dari pagi sampai sore, namun tak pernah punya waktu atau akses ke senam atau kelas yoga. Para pengemudi ojek daring duduk berjam-jam mengejar target, tanpa pernah sempat berpikir soal pentingnya olahraga untuk jangka panjang.
Realitas ini menampar kesadaran kita bahwa ketimpangan bukan hanya soal penghasilan atau kekayaan, tetapi juga soal akses terhadap kualitas hidup. Ketika olahraga menjadi hak istimewa segelintir orang, maka kita sedang menyaksikan ketidakadilan yang lebih dalam. Negara dan masyarakat seharusnya menjamin bahwa hak untuk hidup sehat tidak hanya milik mereka yang mampu, melainkan juga hak dasar setiap warga. Ruang publik yang memadai, edukasi kesehatan yang terjangkau, dan waktu yang manusiawi untuk bekerja harus menjadi bagian dari agenda bersama.
Jika tidak, maka selama satu kelompok sibuk menjaga berat badan dan membentuk otot, kelompok lain akan terus tertatih-tatih mengejar kebutuhan pokok. Kita tidak bisa terus menormalisasi jurang ini. Karena pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi “mengapa mereka tidak berolahraga?”, tetapi “mengapa sistem membuat mereka tak punya pilihan?”
Penulis : Dien Istiqomah