Sejarah gerakan buruh di Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Sebelum ide-ide sosialisme dan anarkisme datang dari Eropa, masyarakat Nusantara telah mengenal pola hidup kolektif gotong royong, kepemilikan bersama atas tanah, dan musyawarah. Nilai-nilai ini membentuk akar sosial yang sejalan dengan prinsip-prinsip anarkisme dan sindikalisme, yakni kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas.
Namun ketika sistem kolonial mulai menerapkan kapitalisme perkebunan dan pajak yang eksploitatif pada akhir abad ke-19, kerusakan sosial pun merata. Tanah milik komunal dialihkan menjadi milik negara atau swasta Eropa, dan rakyat dipaksa bekerja dengan upah rendah di bawah tekanan militer dan birokrasi kolonial. Di sinilah muncul gerakan perlawanan rakyat yang bisa dikategorikan sebagai bentuk anarkisme lokal.
Gerakan paling menonjol adalah Gerakan Samin yang dipimpin oleh Surontiko Samin (1859–1914) di daerah Blora dan Bojonegoro, Jawa Tengah. Sejak 1890-an, Samin mengajarkan ajaran “Ilmu Adam” yang menolak kewenangan negara, penarikan pajak, kerja paksa, dan pendidikan kolonial. Puncak ketegangan dengan pemerintah kolonial terjadi pada 1906–1907, ketika gerakan ini menyebar luas dan Samin serta ratusan pengikutnya ditangkap. Bagi Samin, tanah, air, dan hutan adalah milik bersama—bukan untuk dijual atau dikuasai negara. Pandangan ini, meski tidak dipengaruhi oleh teori anarkisme Eropa, mencerminkan prinsip anti-otoritarianisme dan kemandirian komunitas lokal.
Secara paralel, kritik terhadap kolonialisme juga muncul dari kalangan keturunan Belanda seperti Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang menulis Max Havelaar pada 1860—karya yang mengecam keras sistem tanam paksa dan ketidakadilan kolonial. Multatuli menyuarakan pandangan bahwa negara cenderung menjadi alat penindasan dan menyarankan pembebasan rakyat dari struktur kekuasaan yang mengekang. Ia menjadi inspirasi banyak aktivis antikolonial, termasuk cucunya sendiri, E.F.E. Douwes Dekker, yang nantinya berperan besar dalam membawa gagasan sindikalisme revolusioner ke Indonesia.
Tokoh-Tokoh Radikal dan Penyemaian Gagasan Anarkisme-Sindikalisme (1910–1921)
Memasuki abad ke-20, ide-ide sosialisme, komunisme, dan anarkisme mulai masuk ke Hindia Belanda melalui jaringan aktivis Belanda, buku-buku terjemahan, serta serikat-serikat pekerja di kota-kota pelabuhan. Di antara tokoh yang memelopori penyebaran pemikiran sindikalisme dan anarkisme adalah E.F.E. Douwes Dekker (1879–1950). Ia mendirikan Indische Partij pada 1912 bersama Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Partai ini menyerukan kemerdekaan penuh Hindia dari Belanda, dan mengkritik keras sistem parlementer yang dianggap hanya memperpanjang penindasan.
Setelah partainya dilarang pada 1913 dan ia diasingkan, Douwes Dekker kembali ke Hindia pada 1918 dan mendirikan Nationaal Indische Partij pada 1919. Dalam majalahnya Het Tijdschrift, ia menyebarkan tulisan-tulisan E.J. Higgins (anarko-sindikalis dari Industrial Workers of the World), serta pemikiran Max Stirner dan Francisco Ferrer. Ia menyebut negara sebagai “monster dingin” dan menyebut Yesus Kristus sebagai “anarkis agung” karena menentang ketimpangan dan kekuasaan duniawi.
Di kalangan pribumi, muncul nama Mas Marco Kartodikromo (1890–1932) yang sejak muda sudah bekerja di perusahaan kereta api Belanda sekitar 1905, tetapi berhenti karena diskriminasi rasial. Ia bergabung dengan Sarekat Islam dan mulai menulis secara radikal sejak 1911. Tahun 1914, ia mendirikan surat kabar Doenia Bergerak dan aktif menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme dan ketimpangan sosial. Ia menulis dengan nada satir dan menggabungkan semangat Islam, sosialisme, dan anarkisme.
Karena tulisan-tulisannya, Mas Marco dipenjara pada 1915, kemudian kembali aktif menulis dan menyebarkan pemikiran anti-militerisme pada 1917–1918. Setelah dianggap terlalu radikal bahkan oleh beberapa tokoh Sarekat Islam, ia dijebloskan kembali ke penjara, lalu dibuang ke Papua pada 1926, dan meninggal pada 1932.
Tokoh lainnya adalah Arga (Argavijaya), mantan pelaut yang aktif dalam membela hak-hak buruh pelayaran. Karena pelaut pribumi dilarang bergabung dengan serikat buruh Belanda, Arga mendirikan serikat pelaut Sinar Lautan pada 1914 di Surabaya. Ia juga menulis di Oetoesan Hindia dan secara terang-terangan menyerukan mogok kerja, penolakan terhadap parlemen kolonial (Volksraad), dan perlawanan terhadap kapitalisme.
Arga turut menghadiri pendirian Revolutionary Trade Union Center (RTUC) di Bandung pada 17–21 Juli 1919, yang menghimpun berbagai serikat buruh radikal dari berbagai sektor: pelabuhan, kereta api, dan perkebunan. Ia juga dikenal menerjemahkan karya Kropotkin ke dalam bahasa Melayu, membumikan gagasan anarkis tentang solidaritas dan masyarakat tanpa negara.
Dari Puncak Perlawanan ke Represi dan Pelupaan (1921–1940-an)
Puncak kekuatan gerakan buruh radikal terjadi antara 1917–1921, ketika Sarekat Islam Cabang Semarang menjadi pusat pergerakan sosialis dan anarkis yang menyatu. Dipimpin tokoh seperti Semaun (lahir 1899), Darsono, dan Alimin, mereka mengorganisasi buruh kereta api dan pelabuhan dalam serikat-serikat mandiri dan menyerukan mogok kerja sebagai bentuk perlawanan struktural. ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) yang berdiri sejak 1914, menjadi jembatan antara ideologi sosialisme Eropa dan kebutuhan revolusi pribumi.
Darsono menulis bahwa komunisme bukan ciptaan Marx atau Bakunin, tetapi merupakan kelanjutan dari ajaran Yesus dan Plato. Ia juga membela kaum nihilist Rusia yang melakukan aksi kekerasan terhadap kekuasaan tirani. Dalam artikelnya, ia menegaskan bahwa rakyat pribumi punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa harus bergantung pada kolonial atau parlemen boneka.
Namun mulai 1922, pemerintah kolonial semakin represif. Banyak aktivis ditangkap, termasuk tokoh-tokoh buruh kiri seperti Semaun dan Darsono. Mas Marco dibuang ke Papua pada 1926 dan wafat 1932. Douwes Dekker ditangkap kembali pada 1921 dan akhirnya diasingkan ke Suriname pada 1941–1946. Aktivis seperti Arga dan kawan-kawan dari RTUC juga ditangkap dan dibungkam melalui pemenjaraan dan sensor.
Setelah kemerdekaan, narasi sejarah gerakan buruh Indonesia lebih didominasi oleh nasionalisme dan komunisme. Sementara sejarah anarkisme dan sindikalisme—yang tumbuh organik dari rakyat bawah dan tidak mengandalkan negara—hampir dilupakan. Padahal, perjuangan mereka sangat penting dalam membangun fondasi resistensi rakyat yang horizontal dan anti-otoriter.
Melalui aksi langsung, solidaritas, dan keberanian menggugat status quo, mereka meninggalkan warisan pemikiran dan praktik yang hingga kini tetap relevan. Saat dunia buruh hari ini kembali berada dalam tekanan globalisasi dan otoritarianisme baru, sejarah mereka bukan hanya catatan masa lalu, melainkan inspirasi perjuangan masa depan.
Penulis : Roni Ali Rahman