Pangan merupakan isu strategis dan kompleks yang sangat erat dengan kehidupan manusia. Persoalan pangan tidak hanya dilihat dari pendapatan komoditas, akan tetapi kultur masyarakat juga perlu diperhatikan. Begitupula relasi-relasi rezim pangan yang masih menganggap dampak sosial-lingkungan sebagai efek samping belaka.
Ketika dampak sosial lingkungan dalam rezim pangan tidak menjadi faktor determinan, maka lorong kejahatan kemanusiaan, penggusuran budaya dan kerusakan lingkungan semakin terbuka lebar. Tentu hal ini merupakan sumber ancaman reproduksi sosial dalam ekologi, produksi dan manusia.
Pemenuhan kebutuhan pangan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan mandat moral dan hukum yang harus dipenuhi tanpa kompromi. Dasar hukumnya tidak hanya tertuang dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan, tetapi juga dalam berbagai instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966), serta Deklarasi Ketahanan Pangan Dunia (1996). Isi dari Dokumen-dokumen tersebut menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak atas pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Dengan demikian, negara wajib menjamin agar rakyat, terutama yang rentan, tidak terjebak dalam lingkaran rawan pangan, kelaparan, atau malnutrisi.
Melacak Politik Pangan di Indonesia
Berbanding jauh dengan amanat Konstitusi nasional di atas, realitas di Indonesia justru menunjukkan adanya jurang lebar antara norma hukum dan implementasi. FAO melaporkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam ketahanan pangan, termasuk prevalensi stunting yang mencapai 21,6% pada 2022 menurut data Kementerian Kesehatan RI. Hal ini mencerminkan persoalan sistemik seperti ketimpangan distribusi, rendahnya daya beli masyarakat, dan kerentanan terhadap perubahan iklim.
Pangan bukan hanya kebutuhan biologis, tetapi juga isu multidimensi yang beririsan dengan ekonomi, kesehatan, budaya, dan politik.
Seperti apa yang diucapkan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) ia menegaskan bahwa kelaparan tidak semata-mata akibat kurangnya pangan, melainkan karena kegagalan akses dan distribusi yang adil. Di Indonesia, ketimpangan ini terlihat nyata dalam disparitas geografis. Wilayah timur seperti Papua dan NTT seringkali menjadi titik kerawanan pangan karena infrastruktur yang minim dan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Dari sisi ekonomi, Michael Carolan dalam The Real Cost of Cheap Food (2011) menyoroti bahwa ketergantungan pada impor pangan murah melemahkan produksi lokal. Hal ini juga berlaku di Indonesia, di mana kebijakan impor sering kali merugikan petani kecil. Sebagai negara agraris, ketergantungan pada impor beras dan gandum justru menambah kerentanan. Sebaliknya, potensi pangan lokal seperti sagu, jagung, dan umbi-umbian kurang mendapat perhatian dalam kebijakan pangan nasional.
Di sisi politik, pangan adalah alat strategis yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas nasional. Namun, kurangnya keberpihakan terhadap petani kecil dan lemahnya regulasi dalam perlindungan sumber daya alam menunjukkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi pangannya untuk mencapai kedaulatan.
Menurut Ostrom (1990) dalam Governing the Commons, pengelolaan sumber daya berbasis komunitas lokal dapat meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pangan. Di Indonesia, kelompok tani memiliki potensi besar untuk menopang ketahanan pangan nasional. Namun, mereka sering kali terjebak dalam eksploitasi harga oleh tengkulak dan terbatasnya akses terhadap teknologi modern.
Di sisi lain, ketergantungan pada monokultur padi dan kurangnya diversifikasi pangan membuat sektor pangan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam.
Ilusi Kebijakan dalam Kedaulatan Pangan
Dari sejumlah problem multidimensi yang telah dipaparkan di atas, berbagai upaya dan solusi selalu dirumuskan secara komprehensif, akan tetapi implikasi dari tawaran tawaran tersebut tidak merekonstruksi secara menyeluruh. salah satunya diversifikasi pangan berbasis lokal sebagai solusi yang sering disebutkan dalam dokumen perencanaan pembangunan, implementasinya masih lemah, masih banyak masyarakat petani mengalami ketimpangan sosial.
Pada tahun 1959-1961 pemerintah mengeluarkan Rencana Tiga Tahun produksi padi dengan target swasembada beras pada akhir tahun 1961. Program ini di lakukan dengan membentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM) dan melibatkan beberapa Universitas di Indonesia untuk melakukan penyuluhannya. Namun gerakan ini masih kurang berhasil untuk menanggulangi kekurangan pangan tersebut.
Pada Agustus 1963, Indonesia membuat gagasan penerapan Revolusi Hijau dengan penyuluhan pertanian dalam bentuk proses penelitian. Memang program ini berhasil meningkatkan produksi padi dan pendapatan petani yang meyakinkan. Namun di balik kesuksesan swasembada beras, terdapat masalah yang muncul secara kompleks. Karena program tersebut lebih menekankan pada usaha untuk peningkatkan beras dan kesejahteraan petani masih kurang diperhatikan. Hal ini juga mengakibatkan muncul masalah pencemaran lingkungan, eksplosi hama, hilangnya variates-variates padi unggul lokal, lahan sawah mengalami degradasi, petani yang keracunan pestisida dan sebagainya.
Revolusi hijau memang telah memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan produksi pangan. Namun dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sampai hari ini berlanjut. Semua ini menunjukkan bahwa bahan-bahan kimia mempunyai efek membahayakan yang signifikan.
Ketika formulasi yang digaungkan kurang mendapatkan implikasi yang substantif, maka kebijakan yang dirancang masih mengabaikan relevansi dan riil masyarakat. Hal ini semakin membuka lebar kebobrokan rezim pemerintah dalam mengupayakan keberkelanjutan kedaulatan pangan.
Alih-alih menutupi luka-luka kemajuan, konferensi yang diselenggarakan di Jember Terkait dialog interaktif dalam rangka Hari Pers Nasional yang bertajuk “Mewujudkan Ketahanan Pangan di Tengah Kebijakan Efisiensi Anggaran” pada 22/05/2025, justru memperkeruh rasionalitas dan distingsi masyarakat. Pemenuhan kebutuhan pangan tidak bisa hanya disandarkan dengan pemberian beasiswa sebagai strategis optimalisasi, serta menjadikan petani di Jember sebagai petani modern. Hal ini dapat memicu kesenjangan sosial sebagaimana “pertanian tanpa petani”. Begitupula terhadap ekosistem lingkungan, peran serangga misalnya tidak bisa digantikan dengan alat alat produksi pertanian modern.
Upaya ketahanan pangan harus didasarkan pada tatanan nilai yang mengikat subjektivitas, kepedulian pada ekologi sebagai syarat keberlanjutan lingkungan dan kehidupan sosial. Ketahanan pangan harus menguatkan praktik-praktik budaya, yang tidak sekedar objek komoditas (fetisisme) demi akumulasi kapital.
Penulis : Abdul Muis
Sumber
Bappenas. (2011). Laporan Millenium Development Goals (MDGs). Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
FAO/WHO. (1996). World Food Summit. Rome: FAO/WHO.
Fakultas Pertanian. (1992). Tahun 1963 Perguruan Tinggi Menjawab Tantangan Masalah Pangan. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Las, I. (2009). Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan ke Depan. Tabloid Sinar Tani, 14 Januari 2009
https://diskominfo.jemberkab.go.id/blog/detail/Gus-Fawait-Sampaikan-Langkah-Strategis-Pemkab-Jember-Wujudkan-Ketahanan-Pangan-di-Kabupaten-Jember (Diakses 27/05/25)