Permasalahan kepemimpinan perempuan dalam lini hari ini masih menarik untuk dibahas. Menyoal hak-hak perempuan yang pernah dibelenggu menjadi semakin kompleks dengan adanya beberapa kasus beredar. Indonesia telah menegaskan bahwa sebagai negara yang berdemokrasi dan merdeka menyerukan pengakuan yang sama terhadap warga negaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Setelah kepemimpinan Soeharto berakhir, Indonesia akhirnya menemukan angin segar untuk mengetengahkan aspirasinya yang selama ini terkungkung sistem politik Orde Baru. Bahkan perempuan saat itu telah aktif menyuarakan hak-hak mereka yang telah terabaikan. Salah satu perempuan yang telah terekam dalam sejarah Indonesia, politikus perempuan yang aktif serta produktif pada masa Orde Baru hingga saat ini jejaknya mengakar luas di Indonesia yakni; Aisyah Aminy, perempuan kelahiran 1 Desember 1931 di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Latar Belakang Aisyah Amini
Aisyah merupakan keturunan dari H. Muhammad Amin dan Hj. Jalisah yang terkenal sebagai keluarga taat beragama. Kedua orang tuanya pernah menjadi pendukung gerakan pembaharuan Islam kaum muda, sekaligus menjadi pedagang terkemuka di daerah Padang Panjang. Tahun 1942, Aisyah sempat putus sekolah pada waktu Sekolah Dasar (SD) disebabkan Jepang mulai mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Belanda. Akhirnya Aisyah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Diniyah Puteri dan lulus tahun 1946. Setelah lulus, Aisyah meneruskan pendidikannya di Sekolah Guru Agama (SGA) dan tamat tahun 1950. Kemudian cita-citanya ingin berkuliah di salah satu Univeristas di Yogyakarta, namun terkendala karena ijazah SGA yang dimiliki Aisyah tidak diakui. Berhubung Aisyah berasal dari keluarga yang berkecukupan, ia bersekolah SMA lagi hingga diselesaikannya tahun 1951. Dan ia berhasil masuk di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Aisyah memiliki keterlibatan dalam beberapa organisasi seperti Nasyiatul Aisyiyah (organisasi pemudi Muhammadiyah) dari tahun 1943-1945 sewaktu SMP dan SMA di Sumatera Barat. Kemudian saat kuliah di Yogyakarta, ia pernah diamanahi menjadi ketua Pengurus Besar PII bagian keputrian masa bakti 1951-1953 sekaligus menjadi pengurus HMI cabang Yogyakarta sebagai ketua seksi sosial saat itu.
Alasan keteribatan Aisyah dalam dunia organisasi didasarkan pada pondasi yang kuat. Aisyah dengan penuh semangat menyadari kesibukannya dalam organisasi sosial-kemasyarakatan yang sangat padat, namun dengan gairah tekad yang kuat, Aisyah selalu berusaha menjawab keresahan-keresahan masyarakat yang selama ini menjadi permasalahan dengan cara memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Menurut Aisyah, perhatian terhadap fenomena-fenomena sosial adalah tugas seorang Muslim dan usaha untuk menanggulangi permasalahan sosial serta mengabdi untuk kepentingan umum ialah perbuatan yang mulia. Maka dari itu telah diimplementasikan dalam setiap kegiatan Aisyah membuat masyarakat tak gentar teraliri semangat yang tinggi. Ditambah lagi Aisyah pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, ia bergabung dengan tentara pejuang kemerdekaan melawan Agresi Militer Belanda II bersama dengan perempuan-perempuan lainnya yang bertugas mengurus dapur umum dan menyediakan makanan bagi tentara. Yang lebih mencengangkan, kelebihan Aisyah yakni dapat berbahasa Belanda, sehingga ia sempat dijadikan mata-mata dengan menyamar sebagai penjual makanan atau petani dengan memakai pakaian kotor demi mendapatkan informasi tentang Belanda. Tak disangka pada tahun 1948, Aisyah mengetahui rencana Belanda dan akhirnya tentara Indonesia berhasil menghancurkan konvoi militer Belanda antara Padang Panjang dan Bukittinggi serta melucuti senjata mereka.
Aisyah aktif dalam GPII setelah lulus dari UII pada tahun 1958-1961 sebagai anggota pengurus GPII bagian keputrian. Tahun 1961, ia aktif menjadi pengurus pusat Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI) yang mana organisasi ini bertujuan untuk menyebarluasakan serta melestarikan kebudayaan dan seni Islam. Kemudian pada tahun 1965 Aisyah menjadi ketua KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) dan menjadi ketua umum dalam organisasi WI (Wanita Islam) pada 1968-1985. Tak berhenti di organisasi saja, Aisyah juga berperan dalam bidang hukum dan politik. Dalam dunia hukum, Aisyah menekankan untuk membela perempuan yang seringkali mendapat ketidakadilan. Bersama dengan rekan-rekannya yakni Nani Razak, Saparinah Sadli, dan Nani Yamin, meendirikan Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum untuk Wanita dan Keluarga (LKBHUWK) yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dibawah pimpinan Buya Hamka kala itu. Kegigihannya telah dikenal oleh masyarakat luas dan juga pemerintah, sehingga tak heran pada tahun 1977-1984 ia ditunjuk menjadi anggota KKWI (Komisi Kedudukan Wanita Indonesi). Ketua PPP (Partai Persatuan Pembangunan) tahun 1985-1987 dan wakil ketua Dewan Penasehat Pimpinan Pusat PPP. Tidak selesai di tahun tersebut, Aisyah memiliki masih banyak lagi peran penting lainnya.
Nurlena Rifa’i dalam tulisannya yang berjudul “Aisyah Aminy: Aktivis Politik di Partai Islam” menuliskan bahwa keterlibatan Aisyah di berbagai dunia hukum memiliki makna penting bagi awal kegiatannya dalam bidang politik. Setelah lulus dari UII pada 1957, Aisyah bergabung dengan lembaga bantuan hukum yang dipimpin oleh Muhammad Roem. Aktivitas Aisyah berkembang lebih besar pada saat ia terpilih menjadi anggota MPR RI dan PPP. Namun di sisi lain, ia tidak pernah meninggalkan profesinya sebagai pengacara hingga akhirnya pada tahun 1987 ia terpilih menjadi DPR.
Pemikiran Aisyah Amini tentang Politik
Pemikiran Aisyah mengenai politik sejalan dengan slogan dari Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”. Menurut Aisyah, yang membuat Islam atau tidak bukanlah atas dasar nama ataupun simbol. Yang terpenting adalah adanya implementasi praktek keagamaan dalam setiap peluang kegiatannya. Aisyah menerima realitas keadaan politik Indonesia sejalan dengan arah pemikirannya yang telah dipengaruhi oleh pemikiran Islam modern. Hal tersebut terbukti dalam fatwa Aisyah dan juga PPP secara umum bahwa ia menerima Undang-Undang No.3 tahun 1985 tentang asal tunggal, yang berbunyi bahwa semua partai politik harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan sosial, nasional, dan negara. (Al-Faruqi, Lois Lamya’; 1983)
Lebih dari itu, Aisyah bahkan mendukung demokrasi Pancasila yang menurutnya adalah keputusan tepat untuk Indonesia. Oleh karenanya, ia setuju atas kebijakan-kebijakan politik pada pemerintahan orde baru. Demokrasi Pancasila lebih menekankan pada kebersamaan, meskipun Aisyah masih melihat beberapa kontradiksi dalam penerapan politik Pancasila kala itu. Dengan demikian, Aisyah berpendapat bahwa demokrasi Pancasila sangat relevan jika digunakan secara teoretis sekaligus menjadi tumpuan pelaksaaan kebijakan. Namun tak bisa dipungkiri, pengalaman Aisyah yang sebagai politisi telah menyaksikan langsung adanya ketidaksesuaian antara prinsip dan realitas dalam dunia politik Indonesia. Oleh sebab itu, Aisyah bersikap fleksibel terhdap realistis politik Indonesia, namun ia juga menyatakan yakin terhadap prospek politik Indonesia yang menjanjikan meskipun masih dalam tahap pengembangan.
Tentang Perempuan dan Politik
Sehubungan dengan minoritasnya peranan perempuan dalam dunia politik era itu, Aisyah menyimpulkan terdapat beberapa faktor yaitu dari aspek pendidikan dan persepsi masyarakat. Pendidikan perempuan pada tahun 1970-an lebih rendah daripada pria, serta persepsi perempuan dalam politik enggan ditanggapi disebabkan kebanyakan masyarakat mengartikan politik adalah panggung kotor yang tidak sesuai untuk perempuan yang sifatnya anggun. Oleh karena itu, Aisyah mendobrak persepsi tersebut dengan mengusulkan pendapatnya agar partisipasi perempuan ditingkatkan lagi dalam dunia politik. Upaya pertama ialah mengoreksi anggapan tantangan politik terhadap sifat perempuan, kemudian ia memperhatikan lagi pengabdian dan kemampuan perempuan dalam dunia politik. Dalam konteks ini, Aisyah menggunakan landasan Islam yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban perempuan setara dengan laki-laki namun tidak harus identik. Tradisi Islam menyebutkan bahwa kesetaraan dapat diperolah tapi tidak dengan identitas. Menurutnya, perempuan harus ikut andil melengkapi ruang organisasi multifungsi daripada ikut bersaing dalam masyarakat yang bersifat tunggal. Aisyah prihatin dengan nasib perempuan kala itu, ia mengkritik adanya pengiriman tenaga kerja wanita keluar negeri hanya untuk menajadi pembantu, mereka secaa tidak langsung dapat dikatakan menderita karena dijadikan komoditi untuk memperoleh devisa negara.
Bersumber dari buku berjudul “Ulama Perempuan Indonesia” dengan dieditori oleh Jajat Burhanuddin menyatakan bahwa Aisyah memiliki pemikiran yang progresif tetapi pandangannya bersifat moderat mengenai perempuan dan kehidupan sosial. Ia tidak setuju jika perempuan harus menanggalkan peran domestik demi peran publik dan sebaliknya, ia tidak sepenuhnya setuju bahwa perempuan harusnya di dalam rumah mengurus suami dan anak saja. Hal ini sesuai dengan realitas perempuan sekarang yang berkeinginan memiliki peran sosial yang lebih besar bagi kaum perempuan tanpa meninggalkan dunia domestik. Ia merupakan politisi perempuan yang realistis, oleh sebab itu ia tidak bersikap minta-minta kepada kaum perempuan agar menempati posisi tertentu dalam dunia politik, namun lebih menekankan agar perempuan harus meningkatkan potensinya secara sungguh-sungguh agar kesetaraan tercapai dalam setiap bidang. Aisyah telah memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan posisi yang esensial dibutuhkan ketekunan dan kesungguhan dalam waktu yang panjang. Keberhasilannya dalam bidang pendidikan dan kariernya sebagai politisi mendorong pemikiran Aisyah bahwa jika perempuan ingin menduduki posisi tertentu maka harus sebanding dengan kualitasnya.
Penulis : Rahmah Raini Jamil
Editor : M. Nu’man Fauzy