Dunia yang kita tinggali terlalu lama bergantung pada dikotomi: laki-laki dan perempuan, biru dan merah muda, maskulin dan feminin. Di atas panggung sosial yang tampaknya stabil itu, tubuh manusia dinilai, disortir, lalu ditentukan jalannya. Namun di balik ilusi kepastian tersebut, terdapat kompleksitas yang selama ini diabaikan. Gender, sebagaimana akan dibahas dalam esai ini, bukanlah fakta biologis yang ajek, melainkan realitas sosial, budaya, dan psikologis yang dinamis dan penuh perlawanan. Maka, perlu kiranya kita mengurai ulang apa itu gender, bagaimana ia dipahami dalam sains dan masyarakat, dan mengapa penting untuk memperluas pandangan kita tentangnya.
Gender Bukan Sekadar Alat Kelamin
Secara teoretis, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jika seks merujuk pada atribut biologis seperti kromosom dan alat reproduksi, maka gender menyangkut identitas, peran sosial, serta ekspresi diri yang dibentuk oleh norma dan budaya. Ann Oakley (1972) menjelaskan bahwa gender adalah hasil konstruksi sosial tentang maskulinitas dan femininitas bukan bawaan lahir. Judith Butler dalam Gender Trouble (1990) bahkan menyatakan bahwa gender bersifat performatif: ia diproduksi melalui tindakan, bukan diwarisi secara kodrati.
Pandangan ini menegaskan bahwa menjadi “laki-laki” atau “perempuan” bukanlah sesuatu yang mutlak. Identitas gender bersifat dinamis, dapat berubah, dan tak melulu mengikuti bentuk tubuh. Maka tak mengherankan jika dalam kenyataan sosial, kita menemukan identitas seperti transgender, non-biner, genderqueer, dan lainnya semua merupakan bagian dari spektrum gender yang sah.
Bukti Ilmiah Otak dan Tubuh Tak Biner
Ilmu pengetahuan mutakhir mendukung pandangan bahwa kategori gender tidak bisa direduksi menjadi dua. Dr. Daphna Joel (2015), dalam studi neurosains terhadap lebih dari 1.400 pemindaian otak, menemukan bahwa otak manusia umumnya tidak bisa diklasifikasikan sebagai “otak laki-laki” atau “otak perempuan”. Mayoritas orang memiliki kombinasi karakteristik dari keduanya sebuah “mosaik” yang mencerminkan keberagaman kognitif dan emosional manusia.
Tak hanya pada otak, tubuh manusia pun menunjukkan keragaman biologis yang tak bisa dibungkus dalam kategori tunggal. Interseksualitas, kondisi di mana seseorang lahir dengan karakteristik biologis campuran atau ambigu, terjadi pada sekitar 1 dari 2.000 kelahiran menurut WHO. Angka ini menantang asumsi bahwa jenis kelamin selalu terbagi secara tegas. Bahkan pada level genetika, hormon, dan anatomi, tubuh manusia tak serapi dikotomi yang diajarkan sejak kecil.
Budaya, Diskriminasi, dan Perlawanan
Meski keragaman gender adalah kenyataan biologis dan sosial, sistem yang kita bangun belum sepenuhnya siap menerima kenyataan itu. Institusi pendidikan, layanan kesehatan, dan administrasi publik masih berpijak pada pemahaman bahwa hanya ada dua gender. Sebuah tinjauan sistematis oleh Richards et al. (2019) menunjukkan bahwa individu non-biner dan genderqueer mengalami diskriminasi sistemik karena tak sesuai dengan norma biner. Formulir hanya menyediakan dua pilihan. Klinik tak paham kebutuhan kesehatan mereka. Hukum tak melindungi eksistensi mereka.
Namun, keragaman ini bukan hal baru. Dalam budaya Bugis, dikenal lima kategori gender: oroané, makkunrai, calabai, calalai, dan bissu bentuk pengakuan sosial atas keberagaman gender yang telah hadir jauh sebelum wacana queer Barat masuk. Di Samoa, terdapat fa’afafine, individu yang secara biologis laki-laki tetapi menjalani peran dan ekspresi feminin. Mereka bukan dianggap aneh, melainkan bagian dari struktur sosial yang dihargai.
Memahami gender sebagai spektrum berarti memberi ruang bagi keberagaman manusia untuk tumbuh dan diakui. Ini bukan sekadar soal identitas, tapi soal keadilan. Di dunia yang terlalu sering menyederhanakan manusia ke dalam dua kategori, kita ditantang untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif dan adil.
Karena seperti otak yang bersifat mosaik, begitu pula identitas kita: berlapis, berubah, dan tak pernah bisa sepenuhnya dikurung oleh norma lama. Dan mungkin, dari pengakuan atas kompleksitas itulah kita bisa membangun masyarakat yang lebih manusiawi.
Penulis : Diyanatil Azkiya