Indonesia termasuk iklim tropis yang terletak di sekitar garis katulistiwa. Tropis sendiri diambil dari bahasa Yunani, yaitu tropos yang artinya berputar. Negara yang beriklim tropis hanya memiliki dua musim, musim hujan dengan curah hujan yang relatif tinggi, dan musim kemarau dengan curah hujan yang lebih rendah. Iklim tropis termasuk daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati. Salah satu keistimewaannya ialah memiliki tanah yang subur sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan hewan. Pada umumnya suhu udara daerah tropis sekitar 18°C ke atas, suhu yang cukup optimal untuk pertumbuhan tanaman.
Dalam satu tahun iklim tropis di Indonesia, musim kemarau biasanya terjadi di bulan April sampai September. Sedangkan musim hujan terjadi di bulan Oktober sampai pada bulan Maret. Akan tetapi puncak musim hujan biasanya terjadi di bulan Januari sampai pada bulan Februari. Peralihan dari musim kemarau dan hujan disebut musim pancaroba. Akan tetapi, perubahan iklim yang di akibatkan efek gas rumah kaca membuat musim hujan terutama di Indonesia tidak dapat diprediksi. Sehingga hal ini menjadi momok bagi petani dalam memaksimalkan hasil pertaniaannya.
Fenomena yang sering tampak disaat musim hujan ialah melonjaknya harga komoditas hortikultura. Cuaca yang tidak stabil di musim hujan cenderung merusak tanaman, tentu hal ini akan berdampak terhadap produk pertanian yang mulai semakin langka, sedangkan permintaan pasar terus meningkat. Selain itu ketidakstabilan mekanisme pasar (inflasi) disebabkan tidak lancarnya distribusi barang. Terutama di Indonesia, termasuk negara yang bergantung pada sektor pertanian.
Menurut perkembangan indeks BPS (Badan Pusat Statistik) No.15/03/Th. XXVII, 1 Maret 2024. Pada bulan februari 2024 terjadi inflasi sebesar 2,75 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,58. Inflasi ini terjadi karena permintaan atau demand meningkat dari satu jenis barang atau jasa tertentu. Setiap akhir tahun dan awal tahun selalu menjadi tantangan besar bagi sistem perekonomian. Bisa disebut juga di saat musim hujan, yang sudah menjadi tren terjadinya suatu inflasi. Faktor cuaca sangat berpengaruh terhadap laju perekonomiaan. Terjadinya kerusakan infrasturktur besar-besaran, yang dapat menghambat mekanisme pasar. Termasuk di wilayah penghasil produk perdagangan seperti; nelayan, peternakan, dan pertanian. Peristiwa inflasi ini cukup menghantui dalam kehidupan masyarakat, terutama pedesaan. Mereka yang dekat dengan produk-produk perdagangan sekaligus penghasil dari produk-produk tersebut juga terdampak dari mekanisme pasar. Tanpa disadari lumbung pangan mereka selalu terkuras dengan permintaan pasar yang meninggkat.
Respon pemerintah dalam mengupayakan mitigasi inflasi diberbagai daerah ialah untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok, mencegah kenaikan harga, dan melakukan koordinasi dengan daerah-daerah penghasil kebutuhan pokok. Namun orientasi tersebut hanya dapat menyelesaikan konsepsi sebuah kerangka gagasan, bukan bagaimana peran pemerintah dalam memposisikan diri untuk mensejahterakan masyarakat dengan memenuhi hak-haknya serta mewujudkan keadilan sosial, diskursus ini yang sering kali luput dalam perundingan di meja-meja kekuasaan.
Pertanian di Musim Hujan
Curah hujan yang tinggi di musim penghujan selalu menjadi tantangan bagi petani, terutama petani pedesaan. Hal ini terlihat dari keterbatasan modal serta produk pertanian yang tergantung terhadap industrialisasi. Keterbatasan sinar matahari di musim hujan sangat mempengaruhi reputasi para petani, karena disetiap apa yang ditanam petani membutuhkan sinar matahari untuk keberlangsungan fotosintesis, dimana sebuah proses pengubahan energi sinar menjadi energi kimia karbohidrat (glukosa), dan pengubahan energi kimia menjadi energi kerja pada peristiwa pernapasan dalam tumbuhan. Peristiwa ini hanya berlangsung jika ada cukup cahaya dan klorofil. Peran klorofil ialah sebagai penerima energi cahaya dalam proses fotosintesis.
Sedangkan tanaman yang tumbuh tanpa sinar matahari atau gelap tidak berhasil membentuk klorofil. Tumbuhan tersebut akan mengalami perubahan warna, dari hijau menjadi kuning dan akhirnya mati karna tidak memproduksi makanan sendiri. Sehingga yang terjadi bagi petani di musim hujan adalah perlakuan yang ekstra, dengan memberikan tambahan nutrisi serta perlakuan khusus yang memakan banyak waktu serta biaya produksi. Begitupula kelembapan tanah dimusim hujan yang mempengaruhi perkembangbiakan bakteri. Yang dapat menyerang tanaman dan infeksi jamur sehingga menjadi penyebab gagalnya panen.
Kandungan Air Hujan
Air hujan juga mengandung berbagai zat yang sangat bervariasi, tergantung atmosfer dan kondisi lingkungan. Air hujan juga memiliki kandungan nitrogen yang tinggi. Serta mengandung pH yang sangat varian relatif dan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Nitrogen termasuk unsur hara makro yang dibutuhkan tanaman. Akan tetapi, tanaman memiliki masa dalam membutuhkan unsur hara. Seperti di masa vegetatif, generatif, serta pembungaan atau pembuahan.
Hujan yang berkepanjangan dapat menyebabkan ketidakseimbangan terhadap tanah dan tanaman. Ia dapat merubah pH tanah semakin asam. Karena unsur hara N memiliki tingkat ke asaman. Tanah asam cendrung memiliki ketersediaan nutrisi yang rendah untuk menyuburkan tanah. Air hujan memiliki sifat asam karena mengandung karbon dioksida yang terlarut di dalamnya. Air hujan tersebut bereaksi dengan mineral di dalam tanah sehingga menyebabkan pH tanah menurun.
Petani di Panti Jember
Dalam mengatasi tanah yang terlalu asam, di berbagai penjuru daerah memiliki metode masing-masing, terutama masyarakat dalam bidang pertanian. Beberapa diantaranya ialah dengan merekayasa ekosistem pestisida hayati dan nabati, penanggulangan dengan pestisida ala pabrikan, dan menggunakan kapur dolomit untuk menjaga keseimbangan pH tanah. Namun juga terdapat petani yang menggunakan abu sisa pembakaran tungku, salah satunya adalah Ibu Muji, petani perempuan separuh baya di Dusun Glengseran Desa Suci Kecamatan Panti. Beliau memanfaatkan abu sisa pembakaran tungku untuk menetralisir tanah yang asam. pH tanah pertanian di Panti saat musim hujan rata-rata (4,5). Setelah sekitar dua bulan memanfaatkan abu sisa pembakaran, Ph tanah naik (5,7) mendekati Ph tanah ideal (7).
Alternatif yang dilakukan Ibu Muji tersebut dapat mengurangi biaya produksi pertanian, mengurangi bahan bakar minyak maupun bahan bakar gas, dan memanfaatkan kayu kering yang limbahnya dikembalikan ke alam lagi. Semua itu merupakan kekayaan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Sehingga masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan alam, di mana mereka bertahan hidup.
Penulis : Abdul Muis
Editor : Novia Ulfa Isnaini