Di tengah riuh pencarian makna hidup, hadir buku Jatuh Cinta Kepada-Nya karya Ust. Fahruddin Faiz sebagai penuntun batin yang membawa pembacanya menyelam lebih dalam ke inti eksistensi manusia: spiritualitas. Buku ini tidak hadir untuk menggurui, melainkan mengajak berdialog secara jujur dengan diri sendiri, mengurai simpul-simpul kebingungan yang sering tak terucap, namun terasa mengganggu di dalam dada.
Ust. Faiz dengan gaya khasnya yang filosofis dan reflektif, merangkai gagasan-gagasan spiritualitas ke dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna. Ia memulai dengan mengangkat kutipan yang populer: “We are not human beings having a spiritual experience, we are spiritual beings having a human experience.” Kalimat ini menjadi benang merah dalam buku ini, menandai bahwa manusia sejatinya adalah makhluk spiritual yang sedang menjalani pengalaman sebagai manusia—bukan sebaliknya. Dengan pemahaman ini, Faiz menekankan bahwa kehidupan bukan semata urusan fisik dan kasat mata, melainkan tentang apa yang tersembunyi di baliknya: jiwa dan kesadaran hakiki.
Dalam buku ini, Faiz mengupas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang sering muncul dalam batin manusia: “Who am I?”, “Why must I am?”, dan “What happens after death?” Pertanyaan-pertanyaan ini, menurutnya, menandakan adanya kecerdasan spiritual—yakni kemampuan untuk menyadari bahwa hidup tidak berhenti pada rutinitas dan tampilan luar. Hidup mengandung makna yang lebih dalam, yang hanya bisa ditangkap lewat perenungan dan keterbukaan jiwa.
Kecerdasan spiritual, menurut Faiz, merupakan kunci bagi manusia untuk menjadi utuh. Ia merinci dua belas prinsip kecerdasan spiritual sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih jernih dan bermakna:
1. Kesadaran Diri, yakni kemampuan mengenali dan memahami diri sendiri
2. Spontanitas, yakni hidup secara otentik dan tidak berpura-pura.
3. Panduan Visi dan Misi, hidup dengan tujuan yang jelas.
4. Ketuhanan, kesadaran akan kehadiran Tuhan sebagai pusat orientasi hidup.
5. Kasih Sayang, mencintai sesama tanpa pamrih.
6. Merayakan Keragaman, tidak memaksa keseragaman dalam hidup sosial.
7. Tidak Bergantung, hidup mandiri secara batiniah.
8. Rendah Hati, menyadari keterbatasan dan tidak merasa lebih unggul.
9. Pertanyaan “Mengapa?”, kemampuan untuk menggali makna dan refleksi.
10. Kemampuan Reframe, mengubah cara pandang terhadap masalah.
11. Sikap Positif terhadap Masalah, memandang masalah sebagai peluang belajar.
12. Dorongan untuk Berkarya dan Berkontribusi, hidup tidak hanya untuk diri sendiri.
Dengan kecerdasan spiritual, seseorang akan lebih bijaksana dalam memaknai penderitaan, lebih damai dalam menghadapi ujian, dan lebih terbuka dalam melihat keberagaman. Ia tidak lagi terjebak dalam “casing”—kulit luar—seperti status sosial, materi, atau penampilan, melainkan lebih fokus pada substansi: ketulusan hati dan hubungan dengan Tuhan serta sesama.
Buku ini juga menegaskan bahwa makna hidup tidak bisa ditemukan hanya dari apa yang tampak. Makna bersifat batiniah dan tersembunyi, hanya bisa ditangkap dengan kepekaan spiritual. Karena itu, penting bagi manusia untuk selalu bertanya, berefleksi, dan tidak larut dalam rutinitas yang hampa.
Karya ini sangat cocok dibaca oleh siapa saja yang merasa hidupnya kehilangan arah, atau merasa ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh hal-hal duniawi. Ust. Faiz mengajak kita untuk tidak hanya hidup, tapi menghidupi hidup dengan kesadaran dan cinta kepada-Nya. Dalam dunia yang makin materialistik dan tergesa-gesa, Jatuh Cinta Kepada-Nya hadir sebagai jeda yang menyejukkan—mengajak kita kembali pada yang Hakiki, yang selalu dekat, namun sering kita lupakan: Tuhan.
Penulis : Dien Istiqomah